Jumat, 20 Januari 2012

interaksi nutrient


Pendahuluan
Interaksi nutrient adalah interaksi fisika dan kimia antar nutrisi, nutrisi dengan komponen lain dalam makanan atau nutrisi dengan obat (senyawa kimia lain) yang meliputi efek yang diinginkan dan tidak diinginkan sedangkan Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme untuk fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan. Nutrisi didapatkan dari makanan dan cairan yang selanjutnya diasimilasi oleh tubuh.Nutrient atau nutrisi meliputi karbohidrat, protein, lipid, mikronutrient, makronutrient, vitamin dan mineral.

VITAMIN
Vitamin merupakan bahan makanan organik yang dalam jumlah kecil diperlukan untuk pertumbuhan normal dan kesehatan tubuh. Jumlah yang diperlukan sehari-hari demikian kecilnya, sehingga dapat diperkirakan bahwa vitamin bekerja sebagai katalisator. Telah dapat dibuktikan bahwa beberapa vitamin merupakan bahan esensial pada sistem oksidasi karbohidrat, protein dan lemak. Tubuh tidak dapat membuat vitamin akan tetapi harus memilkinya. Terutama organ yang sedang tumbuh sangat rentan akan defisiensi vitamin.

MINERAL
Tubuh memerlukan 7 elemen dalam jumlah besar, yaitu kalsium, klorida, magnesium, kalsium, fosfor, natrium dan sulfur serta sedikit-dikitnya 7 elemen dalam jumlah kecil (trace elements) seperti kobalt, tembanga, iodium, besi, mangan, selenium dan seng. Di samping itu krom, fluor dan molibden berperan penting dalam metabolisme manusia. Keperluan optimum akan berbagai elemen tersebut belum diketahui. Walaupun trace elements terdapat dimana-mana, defisiensi elemen tersebut baik pada manusia maupun pada hewan dapat timbul. Sebaliknya gejala-gejala toksis pada pemberian mineral yang berlebihan juga pernah terjadi.

Magnesium
Seperti halnya dengan fosfor, mineral ini diperlukan untuk pembentukan tulang dan terdapat pula pada jaringan lunak. Magnesium merupakan bahan esensial dari cairan sel. Keperluan akan magnesium tidak diketahui, akan tetapi susu ibu mengandung cukup magnesium untuk kebutuhan bayi.
Kalsium dan magnesium adakalanya bekerja antagonis akan tetapi kadang-kadang dapat saling menggantikan. Pemberian kalsium dapat menghilangkan depresi pernafasan akibat magnesium, tetapi kedua mineral tersebut dapat menghilangkan gejala tetani.

Besi
Semua sel mengandung besi, akan tetapi hemoglobin darah dan otot mempunyai konsentrasi yang tertinggi. Kebutuhan besi bagi bayi relatif tinggi yaitu karena pertumbuhan yang cepat dari jaringan yang baru. Diet bayi umumnya tidak mengandung cukup besi untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber utama besi untuk bayi adalah ialah ekses hemoglobin waktu lahir. Tekanan O2 yang rendah dari sirkulasi plasenta menyebabkan konsentrasi hemoglobin yang tinggi dalam sel darah merah fetus. Setelah bayi lahir, paru-paru akan mengembang dan berfungsi sehingga konsentrasi hemoglobin yang tinggi tidak diperlukan lagi. Hemoglobin yang berlebihan dihancurkan, akan tetapi besinya akan disimpan dalam hati untuk dipakai kemudian bila diperlukan. Tambahan besi diperlukan jika bayi berumur 5 bulan.


Tembaga
Mineral ini diperlukan pada utilitas besi simpanan dan besi yang diperoleh dari makanan pada konversi menjadi hemoglobin. Jumlah yang dibutuhkan tidak banyak. Perbandingan tembaga dan besi 1 : 10 dianggap optimum untuk menaikkan kadar hemoglobin. Tembaga sudah terdapat pada hati bayi baru lahir. Umumnya makanan bayi mengandung cukup tembaga untuk kebutuhannya.

Selenium
Selenium merupakan mineral yang tergolong pada trace mineral, karena keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit (jarang). Namun demikian mineral ini terdapat dimana-mana diseluruh jaringan tubuh seperti tulang, otot dan darah walaupun kandungannya sangat rendah. Kadar Se yang rendah dalam darah merupakan salah satu indikator yang baik untuk menentukan status mineral dalam tubuh.
Clark et,al. (1998) mengemukakan bahwa Selenium merupakan mineral jarang esensial yang dapat meningkatkan fungsi imun pada ternak, memperbesar neuropsykologic pada manusia dan memperbaiki kondisi penyakit spesifik pada manusia dan ternak. Keuntungan dari segi kesehatan ini beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan mineral Se untuk melihat total insiden penyakit kanker dengan pengurangan secara spesifik dari resiko kanker paru-paru, prostat dan colorectal.
 
Zink
Zink merupakan komponen penting metalloenzim, termasuk alkalin pospat, karboksipeptidase, timidin kinase, dan DNA-RNA polimerase. Zink merupakan komponen penting pada struktur dan fungsi membran sel, berfungsi sebagai antioksidan, dan melindungi dari serangan peroksidae lipid. Peranan zink pada sintesis protein dan transkripsi protein, dimana zinc berperan penting pada regulasi gen. Defisiensi zink dikaitkan dengan perubahan fungsi sistem immun, seperti menurunnya fungsi sel B dan T, menurunnya reaksi hipersensitivitas, menurunnya fagositosis dan menurunnya produksi cytokine.

ASAM AMINO
L-Glutamin
Glutamin merupakan prekursor untuk sintesis nukleotida, sebagai substrat hepatik glukoneogenesis dan merupakan nutrisi yang penting dalam penanganan amonia renal. Glutamin juga merupakan sumber bahan bakar bagi sel yang mengalami pembelahan sangat cepat seperti epitel saluran pencernaan, limfosit, fibroblas dan retikulosit.

Interaksi Yodium dengan Zat gizi lain
Pendahuluan
Menurut Golden (1992), yodium termasuk dalam klasifikasi/kategori nutrient type I (pertama), bersama sama dengan zat gizi lain seperti besi, selenium, calcium, thiamine dll. Type I ini mempunyai ciri yang apabila kekurangan maka gangguan pertumbuhan bukan merupakan tanda yang pertama melainkan timbul setelah tahap akhir dari kekurangan zat gizi tersebut. Tanda yang spesifik lah yang pertama akan timbul. Dalam hal kekurangan yodium, dapat menyebabkan gangguan akibat kekurangan yodium yang sering disebut Iodine Deficiency Disorder (IDD). Dalam type II, pertumbuhan akan terganggu terlebih dahulu, tetapi memberikan nilai penilaian biokimia cairan tubuh yang normal. Nutrient yang termasuk ini adalah potasium, natrium, zinc dll.
IDD adalah gangguan yang merugikan kesehatan sebagai akibat dari kekurangan yodium, yang kita kenal juga dengan singkatan GAKY. Kekurangan yodium pada tanah menyebabkan masyarakat yang hidup dan bertempat tinggal di daerah tersebut menjadi masyarakat yang rawan terhadap IDD. Yang paling ditakutkan dari kekurangan yodium ini adalah meningkatnya kematian bayi beberapa saat setelah dilahirkan dan perkembangan otak yang terhambat (neonatal hypotyroidsm). Faktor yang berperan dalam kejadian IDD diantaranya adalah adanya hubungan idoium dengan zat lain misalnya thyosianat dan selenium (Thaha dkk, 2001).

A.Selenium
Untuk sementara interaksi antara yodium dan selenium dalam proses penyerapan belum ada. Kalaupun ada interaksi ini sangat kompleks dan terkait dengan fungsi fungsi selenium dalam selenoprotein. Pada binatang percobaan ditemukan bahwa kurang selenium meningkatkan kadar T3 di jantung, sehingga dapat menimbulkan peningkatan denyut jantung dan palpasi. Selenoprotein yang juga terlibat dalam interaksi metabolisme yodium ialah iodotyronine deiodinase yang berfingsi merubah thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif dari hormon thyroid triiodothyronine (T3) (Satoto, 2001). Enzym tersebut merupakan selenium-dependent enzymes selain merupakan katalisator utama dalam perubahan thyroxin (T4) menjadi triiodotyronine (T3) juga merupakan katalisator yang merubah dari T3 menjadi T2 untuk mempertahankan level T3.

B. Thiosianat
Tiosiant dikenal sebagai zat goitrogenik yaitu zat yang dapat menghambat transport aktif yodium dalam kelenjar tiroid dan yang paling potential dari zat goitrogenik yang lain. Menurut Bourdoux (1993) dalam Thaha (2001), thyocianat adalah komponen yang utama pada kelompok zat goitrogenik yang dapat mewakili asupan kelompok goitrogenik melalui makanan. Delanggu dalam Thaha (2001) melaporkan bahwa disuatu populasi bila perbandingan antara eksresi yodium dan tiosianat dalam urin (ug/g) kurang dari 3, maka daerah tempat populasi itu berada mempunyai resiko yang potensial untuk terjadinya gondok endemik. Makin kecil perbandingan antara eksresi yodium dan thyiosinat dalam urin maka semakin tinggi tingkat endemisitasnya. Namun demikian, menurut Larsen dan Ingbar dalam Thaha (2001), hambatan oleh pengaruh tiosinat hanya efektif bila konsentrasi yodium plasma normal atau rendah.

C. Besi
Besi adalah mineral yang paling banyak dipelajari dan diketahui oleh para ahli gizi dan kedokteran di dunia. Penemuan terakhir membuktikan bahwa kekurangan besi dapat menyebabkan terganggunya metabolisme tiroid dalam tubuh manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Zimmermann dkk (2000) yang membagi kelompok anak anak yang menderita kekurangan yodium menjadi dua, yaitu anak yang menderita anak yang kekurangan iodine saja dan anak yang menderita kekurangan iodine dan besi.
D. Mineral and vitamin lain
Interaksi antara yodium dengan mineral and vitamin lain perlu diteliti lebih lanjut, baik secara laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan maupun di lapangan terhadap manusia. Penelitian yang melkihat inetraksi secara langsung antara yodium dengan vitamin A pernah dilakukan namun perlu konfirmasi lebih lanjut.

PERAN MIKRONUTRIEN PADA RESPONS IMUN
Peran beberapa mikronutrien pada respons imun telah dibuktikan pada berbagai penelitian. Defisiensi mikronutrien tersendiri jarang ditemukan kecuali defisiensi besi, vitamin A dan zinc. Defisiensi mikronutrien sering sebagai komponen malnutrisi energi protein dan banyak penyakit sistemik. Lebih jauh, malnutrisi pada manusia biasanya menyertai defisiensi nutrien yang multipel.
Zinc
Defisiensi zinc, baik didapat atau diturunkan dihubungkan dengan atrofi limfoid, penurunan respons hipersensitivitas tipe lambat dan rejeksi homograft serta aktivitas hormon timus. Contoh yang paling baik adalah pasien akrodermatitis enteropatika yang menunjukkan gangguan respons limfosit terhadap fitohemaglutinin, penurunan aktivitas timulin serta menurunnya reaksi kulit hipersensitivitas tipe lambat.
Defisiensi zinc dapat menyebabkan gangguan penghancuran mikroba (ingestion) dan fagositosis. Nutrien ini diduga berperan pada stimuli nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase, sebagai kofaktor untuk fosfolipase A2 dan atau fosfolipase C. Zinc dapat menstabilkan 20 : 4 asam arakidonat terhadap oksidasi oleh kompleks besi. Zinc dapat bereaksi dengan oksigen membentuk zat toksik terhadap patogen yang ditelan oleh sel.
Defisiensi zinc juga dapat menghambat penyembuhan luka. Defisiensi zinc dibuktikan meningkatkan angka kejadian investasi parasit cacing nematoda.
Cuprum (Tembaga)
Defisiensi cuprum dibuktikan dapat menyebabkan gangguan respons imun. Fungsi sistim retikulo endotelial tertekan dan aktivitas mikrobisidal sel fagosit terganggu. Hal ini berhubungan dengan peran cuprum dalam sistim superoksid dismutase dan enzim sitokrom oksidase. Juga didapatkan penurunan respons antibodi terhadap antigen sel T dependen.
Ferum (Besi)
Defisiensi besi merupakan masalah komponen nutrisi yang paling utama di seluruh dunia,bahkan juga di negara industri/ maju. Di satu sisi, besi bebas diperlukan untuk pertumbuhan bakteri.Pengikatan besi melalui pemberian laktoferin atau chelating agent lain dapat mengurangi multiplikasi bakteri, terutama dengan adanya antibodi spesifik. Di sisi lain besi diperlukan oleh sel Natural killer, neutrofil dan limfosit untuk berfungsi secara optimal. Oleh karena itu pada defisiensi besi, kapasitas bakterisidal akan menurun. Hal ini mungkin disebabkan enzim mieloperoksidase dan sitokin yang bergantung besi.
Selain itu juga terdapat gangguan proliferasi limfosit terhadap mitogen dan antigen, penurunan respons terhadap antigen toksoid tetanus dan Herpes simplex dan terdapat perbaikan nyata setelah pengobatan dengan besi. Gangguan proliferasi limfosit pada defisiensi besi melalui defisiensi ribonukleotidil reduktase yang diperlukan untuk proliferasi sel.
Apakah pemberian suplementasi besi dapat meningkatkan risiko infeksi? Hal ini ternyata dibuktikan pada penelitian invitro, tetapi data klinis tidak ada yang menunjang hipotesis tersebut.
Asam Amino
Asam amino memodulasi respons imun melalui berbagai cara. Defisiensi beberapa jenis asam amino dapat menurunkan respons antibodi. Didapatkan juga penurunan klirens makromolekul oleh sel fagosit dari darah. Bukti akhir menunjukkan efek imunostimulan dan antiinfeksi yang diperani oleh asam amino glutamin dan arginin.
Lipid
Banyak bukti menunjukkan bahwa lipid mempunyai peran imunoregulator. Mekanismenya melalui modulasi sistem eikosanoid, perubahan membran sel, perubahan jumlah dan kepadatan reseptor, perubahan jumlah dan fungsi beberapa subpopulasi sel serta produksi dan kinerja sitokin. Defisiensi asam lemak esensial akan menurunkan berbagai respons imun. Sebaliknya, kelebihan lipid misalnya pada obesitas juga dapat menyebabkan gangguan respons imun.

Kamis, 19 Januari 2012

Interaksi Yodium dengan Zat gizi lain


http://www.scribd.com/doc/40517623/Interaksi-Iodium-Dengan-Zat-Gizi-Lain

Pendahuluan

Menurut Golden (1992), yodium termasuk dalam klasifikasi/kategori nutrient type I (pertama), bersama sama dengan zat gizi lain seperti besi, selenium, calcium, thiamine dll. Type I ini mempunyai ciri yang apabila kekurangan maka gangguan pertumbuhan bukan merupakan tanda yang pertama melainkan timbul setelah tahap akhir dari kekurangan  zat gizi tersebut. Tanda yang spesifik lah yang pertama akan timbul. Dalam hal kekurangan yodium, dapat menyebabkan gangguan akibat kekurangan yodium yang sering disebut Iodine Deficiency Disorder (IDD). Dalam type II, pertumbuhan akan terganggu terlebih dahulu, tetapi memberikan nilai penilaian biokimia cairan tubuh yang normal. Nutrient yang termasuk ini adalah potasium, natrium, zinc dll.
IDD adalah gangguan yang merugikan kesehatan sebagai akibat dari kekurangan yodium, yang kita kenal juga dengan singkatan GAKY. Kekurangan yodium pada tanah menyebabkan masyarakat yang hidup dan bertempat tinggal di daerah tersebut menjadi masyarakat yang rawan terhadap IDD. Yang paling ditakutkan dari kekurangan yodium ini adalah meningkatnya kematian bayi beberapa saat setelah dilahirkan dan perkembangan otak yang terhambat (neonatal hypotyroidsm). Faktor yang berperan dalam kejadian IDD diantaranya adalah adanya hubungan idoium dengan zat lain misalnya thyosianat dan selenium (Thaha dkk, 2001) Tulisan dibawah ini akan membahas lebih lanjut hubungan tersebut.
A. Selenium
Ketersediaan selenium yang kurang pada tanah diduga juga mengandung rendah yodium pada tanah yang sama. Untuk sementara interaksi antara yodium dan selenium dalam proses penyerapan belum ada. Kalaupun ada interkasi ini sangat kompleks dan terkait dengan fungsi fungsi selenium dalam selenoprotein. Pada binatang percobaan ditemukan bahwa kurang selenium meningkatkan kadar T3 di jantung, sehingga dapat menimbulkan peningkatan denyut jantung dan palpasi. Selenoprotein yang juga terlibat dalam interaksi metabolisme yodium ialah iodotyronine deiodinase  yang berfingsi merubah  thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif dari hormon thyroid triiodothyronine (T3) (Satoto, 2001).. Enzym tersebut merupakan selenium-dependent enzymes selain merupakan katalisator utama dalam perubahan thyroxin (T4) menjadi triiodotyronine (T3) juga merupakan katalisator yang merubah dari T3 menjadi T2 untuk mempertahankan level T3 (www.orst.edu/depth/lpi/infocentre/minerals/iodine).
Selain itu, salah satu contoh dari selenoprotein yang berhunbungan dengan metabolisme yodium adalah glutathione peroxidase, berfungsi sebagai antioksidan utama dalam tubuh manusia dan binatang (Satoto, 2001). Dengan adanya gambaran diatas, jelas bahwa akibat dari kekurangan selenium asupan T3 dalam sel tubuh juga menurun.
B. Thiosianat
Tiosiant dikenal sebagai zat goitrogenik yaitu zat yang dapat menghambat transport aktif yodium dalam kelenjar tiroid dan yang paling potential dari zat goitrogenik yang lain. Menurut  Bourdoux (1993) dalam Thaha (2001), thyocianat adalah komponen yang utama pada kelompok zat goitrogenik yang dapat mewakili asupan kelompok goitrogenik melalui makanan. Delanggu dalam Thaha (2001) melaporkan bahwa disuatu populasi bila perbandingan antara eksresi yodium dan tiosianat dalam urin (ug/g) kurang dari 3, maka daerah tempat populasi itu berada mempunyai resiko yang potensial untuk terjadinya gondok endemik. Makin kecil perbandingan antara eksresi yodium dan thyiosinat dalam urin maka semakin tinggi tingkat endemisitasnya. Namun demikian, menurut Larsen dan Ingbar dalam Thaha (2001), hambatan oleh pengaruh tiosinat hanya efektif bila konsentrasi yodium plasma normal atau rendah.
Penelitian di Pulau Seram Barat, Seram Utara dan pulau Banda menunjukkan adanya perbedaan ekresi thyocianat yang bermakna antara daerah endemik GAKY dan daerah non-endemik GAKY yang mana kandungan thyosianat tinggi pada daerah kontrol dibandingkan daerah kasus. Hal ini bertentangan dengan dugaan bahwa kandungan thiosinat yang tinggi akan dijumpai pada daerah gondok endemik. Data dari P. Buru menujukkan nilai eksresi tiosianat yang paling tinggi dibanding dengan tiga daerah lain sehingga menyebabkan tingginya nilai tiosinanat di urin pada kelompok kontrol. Akan tetapi rasio eksresi yodium dan eksresi tiosinat pada urin daerah yang endemik menunjukkan lebih kecil dari pada daerah yang non endemik (Thaha, 2001) yang menandakan bahwa ratio yang semakin kecil menghasilkan resiko yang semakin besar terhadap gondok endemik.
C. Besi
Besi adalah mineral yang paling banyak dipelajari dan diketahui oleh para ahli gizi dan kedokteran di dunia. Penemuan terakhir membuktikan bahwa kekurangan besi dapat menyebabkan terganggunya metabolisme tiroid dalam tubuh manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Zimmermann dkk (2000) yang membagi kelompok anak anak yang menderita kekurangan yodium menjadi dua, yaitu anak yang menderita anak yang kekurangan iodine saja dan anak yang menderita kekurangan iodine dan besi. Pada kelompok pertama dan kedua, semua anak diberi 200 mg oral iodine dalam minyak. TSH (thyroid Stimulation Hormon, IU (iodine concentration), T4, dan volume kelenjar thyroid diambil pada awal dan minggu ke 1,5,10, 15 dan 30 minggu sesudah pemebrian. Sesudah 30 minggu pemberian iodine, bagi kelompok yang anaemia karena kekurangan besi diberikan tablet besi (ferrous sulphate) 60 mg secara oral 4 kali perminggu selama 12 minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa pada minggu ke 30 setelah pemberian iodine kedua kelompok, terjadi penurunan volume rata-rata tiroid menurun dibandingkan dengan awal sebelum dilakukan pemberian iodine, masing masing 45.1% dan 21.8 % (p kecil 0.01).  Pada kelompok yang ke dua, penurunan volume tiroid lebih menurun bila dibandingkan dengan baseline, yaitu menjadi 34.8% pada minggu ke 50 dan 38.4 % pada minggu ke 65.  Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi besi dapat meningkatkan kemampuan iodone dalam minyak pada anak anak yang kekurangan yodium. (Zimmermann, M et al, 2000)
D. Mineral and vitamin lain
Interaksi antara yodium dengan mineral and vitamin lain perlu diteliti lebih lanjut, baik secara laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan maupun di lapangan terhadap manusia. Penelitian yang melkihat inetraksi secara langsung antara yodium dengan vitamin A pernah dilakukan namun perlu konfirmasi lebih lanjut. Penelitian oleh Van Stuijvenberg dkk, (1999) misalnya yang mengambil 115 anak di Afrika Selatan usia 6-11 tahun yang diberi biskuit selama 43 minggu sampai lebih dari 12 bulan dibandingkan dengan control. Biskuit mengandung besi, yodium, and betha carotene sedangkan control adalah biskuit yang tidak difortifikasi. Pada akhir intervensi, terlihat pada tidak ada perbedaan perubahan dalam pengecilan kelenjar tiroid anak anak secara signifikan, Akan tetapi terjadi penurunan jumlah anak anak yang mempunyai eksresi yodium yang rendah (100 ug/L) dari semula berjumlah 97.5% menjadi tinggal 5.4%. Peningkatan eksresi urin tersebut sangat signifikan  (p kecil 0.0001). (van Stuijvenberg dkk, 1999).
Daftar Pustaka
Golden MHN. Specific deficiency versus growth failure: Type I and type II nutritients. SCN News 1992;No. 12:10-14.
Satoto. Seleneium dan Kurang Iodium dalam Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Nasional Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) 2001 editor Djokomoeljanto, dkk. Semarang, Badan penerbit Universitas Diponegoro. 2001
ICCIDD, UNICEF, WHO. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and Monitoring their Elimination. A guide for Programme managers. 2nd Ed. Geneva, 2002.
Thaha, Razak; Dachlan, Djunaidi M; Jafar, Nurhaedar, Jafar. Analisis faktor resiko “coastal goiter” dalam Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Nasional Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) 2001 editor Djokomoeljanto, dkk. Semarang, Badan penerbit Universitas Diponegoro. 2001
Van Stuijvenberg, M Elizabeth et al. Effect of iron-, iodine-, and b carotene-fortified biscuits on the micronutrient status of primary school children: a randomized controlled trial. Am  J Clin Nutr 1999; 69: 497-503
Zimmermann M, et al. Iron supplementation in goitrous, iron-deficient children improves their response to oral iodized oil. Eur J Endocrinol 2000; 142(3):217-22

Kamis, 05 Januari 2012

Pemeriksaan Toksisitas Akut, Gelagat dan Sifat Diuretik Daun Mimba (Melia azadirachta L.)

Beberapa waktu yang lalu masyarakat, khususnya di Jakarta, dihebohkan oleh adanya daun mindi (mimba) yang dikatakan berkhasiat bagi segala jenis penyakit. Untuk mendapatkan petunjuk tentang khasiatnya, dilakukan beberapa percobaan. Pada tahap pertama bahan dideterminasi oleh Herbarium Bogoriense dan hasilnya adalah bahwa yang dipasarkan mempunyai nama Latin Melia azadirachta L. atau Azadirachtaindica Juss. Secara empirik bahan ini digunakan sebagai obat demam, anti malaria, eksema, obat cacing1,3,6 . Sifat astringen, insektisida,dan sifat stimulan telah pernah ditentukan2. Di samping itu air rebusan bahan dapat menurunkan kadar SGOT tikus pada dosis tinggis . Disebut pula bahwa tanaman ini mengandung nimbidin dan natrium nimbidinat yang terhadap katak dapat menghambat dan akhirnya menghentikan denyut jantung8. Untuk melengkapi informasi maka pada penelitian ini di tentukan: 1) toksisitas akut pada mencit, 2) pengaruh terhadap gelagat mencit, dan 3) daya diuretiknya pada tikus putih.
BAHAN DAN CARA
Bahan
Bahan diperoleh dari Jakarta dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense (LBN LIPI). Untuk penentuan LD50 danpercobaan terhadap gelagat digunakan mencit dengan berat20 — 25 gram dengan jenis kelamin betina dan jantan dariPusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan, DepKes. Untuk percobaan diuretic digunakan tikus yang diperoleh dari Puslitbang Gizi Jakarta, dengan berat antara 160 dan 220 gram.
Pengolahan bahan
Tujuh puluh gram daun segar diolah seperti yang dilakukan untuk pengobatan. Bahan di atas direbus dengan air hingga 700 ml, dan diuapkan pada suhu antara 60° dan 63°C hingga menjadi ekstrak kering dengan bobot 7,49 gram. Dosis lazim ekstrak kering pada tikus secara oral adalah 0,223 mg/100 g bb. Ini diperoleh dengan memperhitungkan 1 kali dosis manusia yaitu 7 helai daun segar (kira-kira 1 gram) direbus dalam 2 gelas air sampai tinggal 1 gelas dan diminum 3 kali sehari.
Percobaan toksisitas
Percobaan toksisitas akut dilakukan menurut cara Weil10 menggunakan mencit betina dengan cara pemberian bahan secara intraperitoneal.
Percobaan terhadap gelagat
Percobaan untuk melihat pengaruh terhadap gelagat dilakukandengan cara Campbell dan Richter, menggunakan mencit jantan dan betina dengan pemberian bahan secara intraperitoneal.
Percobaan diuretik
Percobaan diuretik dilakukan dengan cara Taylor dan Topliss7. Untuk itu tikus dibagi dalam 5 kelompok @ 3 ekor tikus.